Hadits Arbain Ke 11 - Tinggalkanlah Perkara Yang Membuatmu Ragu
Bersama Pemateri :
Ustadz Anas Burhanuddin
Hadits Arbain Ke 11 – Tinggalkanlah Perkara Yang Membuatmu Ragu merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Anas Burhanuddin, M.A. dalam pembahasan Al-Arba’in An-Nawawiyah (الأربعون النووية) atau kitab Hadits Arbain Nawawi Karya Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala. Kajian ini disampaikan pada 13 Rabbi’ul Tsani 1441 H / 10 Desember 2019 M.
Status Program Kajian Kitab Hadits Arbain Nawawi
Status program kajian Hadits Arbain Nawawi: AKTIF. Mari simak program kajian ilmiah ini di Radio Rodja 756AM dan Rodja TV setiap Selasa sore pekan ke-2 dan pekan ke-4, pukul 16:30 - 18:00 WIB.
Download juga kajian sebelumnya: Hadits Arbain Ke 10 – Allah Maha Baik dan Hanya Menerima Yang Baik
Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 11 – Tinggalkanlah Perkara Yang Membuatmu Ragu
InsyaAllah pada kesempatan sore hari ini kita akan melanjutkan kebaikan yang sudah kita mulai bersama, yaitu mendalami agama Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui hadits-hadits pokok dalam agama Islam yang dihimpun oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam karya beliau Al-Arba’in An-Nawawiyah. Dan hari ini kita memasuki pembahasan hadits yang ke-11. Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan:
عَنْ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
“Diriwayatkan dari Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhuma cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kesayangan beliau. Beliau mengatakan: Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam nasehat ini, ‘Tinggalkanlah perkara yang membuatmu ragu kepada apa yang tidak membuatmu ragu.`” (HR. An-Nasa’i dan Tirmidzi. Dan Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih)
Hadits ini adalah riwayat An-Nasa’i dan Tirmidzi dan dihukumi sebagai hadits hasan shahih. Dan diriwayatkan dari Al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhuma. Dikatakan “Radhiyallahu ‘Anhuma” karena beliau adalah seorang sahabat dan ayahanda beliau juga adalah salah satu sahabat utama. Karena beliau adalah Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhuma.
Kita mengetahui ‘Ali bin Abi Thalib adalah paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sekaligus sebagai menantu beliau. Sedangkan Al-Hasan bin ‘Ali adalah putra dari ‘Ali bin Abi Thalib dari pernikahan beliau dengan Fatimah Radhiyallahu ‘Anha putri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka Al-Hasan adalah cucu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan beliau adalah cucu yang pertama dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka tidak heran kalau beliau disebut sebagai kesayangan sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari, beliau mengatakan:
هُما رَيْحانتايَ مِن الدُّنيا
“Keduanya (yaitu Al-Hasan dan Al-Husain) adalah diantara raihan saya.” (HR. Bukhari)
Para ulama berbeda pendapat tentang arti “raihan” di sini. Karena pada dasarnya raihanah itu adalah bunga yang memiliki bau yang sangat harum. Maka perumpamaan Al-Hasan bin ‘Ali dan Al-Husain bin ‘Ali adalah seperti bunga yang harum yang biasa dicium, memiliki bau semerbak seperti raihanah di akhirat tapi adanya di dunia. Di antara para ulama ada yang menafsirkan hal ini sebagai “kesayangan”. Karena raihan juga bisa berarti sesuatu yang kita tenang disampingnya, sesuatu yang kita bisa merasakan ketenangan bersamanya. Maka ini bisa berarti kesayangan. Dan tidak heran kalau Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu menjadi kesayangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena beliau adalah cucu pertama. Kita mengetahui seorang ayah kadang memiliki perasaan yang biasa saja pada anaknya. Tapi perasaan sayang itu menjadi lebih besar ketika berbicara tentang cucu. Mungkin bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah memiliki cucu bisa merasakan ini. Perbedaan perasaan seorang ayah kepada anaknya dengan perasaan seorang kakek kepada cucunya. Itu sering lebih besar perasaan cinta seorang kakek kepada cucunya. Apalagi itu adalah cucu yang pertama. Maka tidak heran kalau Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut Al-Hasan dan Al-Husain sebagai raihanatan (dua cucu kesayangan) beliau.
Dalam satu hadits lain yang menjelaskan keutamaan Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إِنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيمَتَيْنِ مِنَ المُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya anakku (yakni: cucuku) ini adalah seorang pemimpin dan dia akan mendamaikan antara dua kelompok besar umat Islam.”
Sebuah hadits yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jauh hari sebelum perdamaian itu terjadi. Tapi dengan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala beliau sampaikan bahwa suatu saat Al-Hasan bin ‘Ali akan mendamaikan dua kelompok besar umat Islam yang terjadi pada tahun 40 Hijriyah. Dimana pasukan ‘Ali bin ‘Abi Thalib dan pasukan Muawiyah bin Abi Sufyan berselisih paham masing-masing dengan ijtihadnya, kemudian Al-Hasan bin ‘Ali yang menjadi juru damai saat itu dengan turun dari khilafah dan kepemimpinan beliau. Beliau menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada kelompok Muawiyah. Sehingga akhirnya umat Islam yang awalnya berseteru/bertikai menjadi damai setelah itu. Dan itu sebagai bukti juga atas benernya sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits yang lain:
خِلَافَةُ النُّبُوَّةِ ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ يُؤْتِي اللَّهُ الْمُلْكَ مَنْ يَشَاءُ
“Khilafah atau kepemimpinan pengganti kenabian setelahku itu ada 30 tahun. Kemudian setelah itu Allah memberikan kekuasaan kepada yang dikehendaki, Allah memberikan kerajaan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)
Maka khilafah berlangsung dari zaman Abu Bakar As Siddiq, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, selanjutnya ada Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, itu adalah pamungkas khilafah. Khilafah nubuwwah selesai disitu. Kemudian pemerintahan dalam Islam berubah menjadi sistem kerajaan. Dan yang menjadi raja pertama adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Dan itulah penafsiran dari sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian Allah memberikan kuasa atau kerajaan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan ini adalah Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu.
Juga dalam hadits yan glain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ سَيِّدَا شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Keduanya (yaitu Al-Hasan dan Al-Husain) adalah dua pemimpin pemuda surga.” (HR. Tirmidzi)
Ini juga adalah sesuatu yang harus kita yakini. Kita umat Islam dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwasanya ini akan terjadi. Yaitu bahwasannya Al-Hasan dan Al-Husain akan menjadi pemimpin bagi para pemuda di surga kelak. Kenapa? Karena kabar ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad yang shahih kepada kita. Maka wajib bagi umat Islam untuk mengimani hal ini.
Jadi hadits ini adalah hadits riwayat dari Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib yang meninggal pada tahun 49 Hijriyah. Dan dalam hadits ini beliau menyampaikan sebuah pesan yang beliau hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak membuatmu ragu.”
Imam Nawawi Rahimahullahu Ta’ala memilih hadits ini menjadi hadits yang ke -11 dari rangkaian Arba’in Nawawiyyah. Hadits ini mengingatkan kepada hadits lain yang merupakan hadits yang ke-6. Hadits Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الَحرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ
“Sungguh yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang rancu/meragukan/syubhat yang banyak orang tidak mengetahuinya. Maka barangsiapa yang menjauhi syubhat, maka dia telah membebaskan agamanya dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh dalam syubhat maka dia telah jatuh dalam perkara yang haram. Seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan para raja. Kalau dia menggembala di situ maka dia akan masuk dalam tanah larangan tersebut.”
Jadi hadits Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib ini menegaskan apa yang disebutkan dalam hadits Nu’man bin Basyir. Maknanya sama. Yaitu ketika kita dihadapkan pada perkara-perkara syubhat, maka seorang Muslim sikapnya adalah menghindari syubhat tersebut, meninggalkannya, menjauhinya dan juga menjauhkannya. Dalam perkara-perkara yang jelas halalnya, kita bisa dengan yakin melakukannya. Dalam perkara-perkara yang jelas haramnya kita juga dengan yakin meninggalkannya. Namun perkara-perkara syubhat (yang masih rancu), maka kewajiban kita adalah meninggalkan perkara syubhat itu. Sikap kita adalah meninggalkan perkara syubhat itu. Dan kita sudah jelaskan perkara-perkara syubhat adalah perkara yang kita tidak mengetahui hukumnya dengan pasti, kita tidak yakin dengan hukumnya secara pasti baik karena permasalahan-permasalahan itu diperselisihkan hukumnya di antara para ulama atau karena sedikitnya ilmu kita akan perkara itu. Di sini kita mengambil sikap hati-hati dengan meninggalkan syubhat itu.
Bagaimana caranya? Kalau ada suatu permasalahan diperselisihkan hukumnya di antara para ulama kemudian sampai saat kita diuji dengan perkara itu kita tidak mengetahui hukum yang meyakinkan, maka hendaknya kita memilih hukum yang lebih berat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Fudhail bin Iyadh Rahimahullahu Ta’ala dimana beliau mengatakan, “Orang-orang menyangka bahwasannya wara’ itu sulit. Adapun bagi saya wara’ itu ringan. Tidaklah saya dihadapkan pada dua perkara kecuali saya akan memilih yang lebih berat di antara keduanya. Karena sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak membuatmu ragu.`” Beliau mengamalkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib ini.
Karenanya berdasarkan hadits ini para ulama menyimpulkan sebuah hukum. Yaitu, keluar dari perbedaan pendapat itu hukumnya adalah mustahab (dianjurkan). Sebagai lagi memperinci dengan mengatakan bahwa kalau para ulama berbeda pendapat dalam suatu hukum, antara dengan sunnah, maka disini kita mengambil pendapat yang wajib. Karena ini lebih hati-hati. Ketika misalnya para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jamaah ada yang mengatakan wajib namun ada yang mengatakan sunnah. Kalau kita bisa menimbang-nimbang dalil kedua belah pihak, kita bisa membandingkan mana yang lebih kuat dari keduanya dan kemudian kita sampai kepada keyakinan bahwasannya salah satu dari dua pendapat itu adalah pendapat yang lebih kuat, maka disitu kita mengambil pendapat sesuai dengan hasil studi kita, hasil perbandingan yang sudah kita lakukan. Adapun kalau sampai kita diuji dengan shalat jamaah kita masih ragu, masih rancu, masih belum tahu, maka di sini kita mengambil pendapat yang lebih berat. Yaitu mengatakan bahwasanya shalat jamaah itu hukumnya wajib. Kenapa? Karena itu yang membuat kita keluar dari perselisihan dengan meyakini shalat jamaah wajib. Kemudian senantiasa melaksanakan shalat wajib secara berjamaah. Jadi kita meyakini itu wajib kemudian juga konsisten dengan apa yang kita yakini, yaitu menjalankan shalat fardhu kita secara berjamaah kecuali jika ada udzur. Maka dengan begitu kita selamat dari perselisihan. Karena kalau kita tidak menjalankan shalat jamaah maka kita berdosa menurut mereka yang mewajibkannya. Maka jalan keluarnya adalah dengan meyakini bahwasannya shalat jamaah itu wajib. Kapan? Saat kita masih ragu dan rancu, saat kita belum memiliki ilmu yang meyakinkan kita. Maka caranya adalah dengan mengambil pendapat yang lebih berat.
Sebaliknya kalau terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama di mana sebagian mereka berpendapat suatu perkara itu haram sementara yang lain mengatakan perkara itu makruh. Misalnya yang paling mudah kita temui di masyarakat kita adalah perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum merokok. Kita mengetahui saat rokok muncul kira-kira tiga atau empat abad yang lalu, para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haram, ada yang mengatakan makruh. Ini tidak kita nafikan. Karena memang faktanya seperti itu meskipun semakin ke sini semakin ke belakang ketika kedokteran semakin maju dan kedokteran modern membuktikan bahwasannya ada bahaya besar di balik merokok. Maka kelompok yang mengharamkan semakin banyak dan kelompok yang memakruhkan semakin sedikit. Tapi tetap kita tidak nafikan bahwasannya ada perbedaan pendapat dalam masalah itu.
Tentunya kalau kita bisa membandingkan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini, kita bisa melihat mana yang lebih kuat dengan ilmu yang Allah berikan kepada kita, kita bisa membandingkan dalil yang dimiliki oleh masing-masing kelompok kemudian kita sampai pada suatu kesimpulan hukum yang lebih kuat menurut studi saya adalah “hukum A” misalnya. Maka itulah yang kita yakini kemudian kita amalkan.
Tapi kalau sampai kita dihadapkan pada hukum ini kita masih ragu, masih rancu, belum punya hukum yang pasti yang kita tenang dengannya. Maka kata para ulama sikap kita adalah mengambil hukum yang lebih berat. Dalam hal ini adalah yang mengatakan haram untuk kemudian kita meyakini itu haram dan tidak merokok setelah itu. Kenapa? Karena bagi mereka yang mengatakan merokok haram, maka kalau kita merokok berarti kita berdosa. Betul bagi mereka yang mengatakan makruh tidak dosa. Tapi kalau kita melihat sudut pandang mereka yang mengharamkan berarti saat kita merokok kita berdosa. Maka agar kita bisa selamat dari kesalahan, kita selamat dari dosa dengan yakin adalah dengan tidak merokok. Meyakini rokok itu haram dan kita tidak merokok setelah itu.
Simak penjelasan selanjutnya pada menit ke-21:25
Download mp3 Ceramah Agama Islam Tentang Hadits Arbain Ke 11 – Tinggalkanlah Perkara Yang Membuatmu Ragu
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48228-hadits-arbain-ke-11-tinggalkanlah-perkara-yang-membuatmu-ragu/